Di dalam lanskap industri Indonesia yang dinamis, sertifikasi halal telah berevolusi secara fundamental. Bukan lagi sekadar label untuk menarik segmen konsumen tertentu, kini ia menjadi pilar kepatuhan hukum dan standar operasional yang wajib dipenuhi. Seiring implementasi penuh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) beserta peraturan pelaksananya, pelaku usaha dihadapkan pada sebuah keniscayaan: semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Bagi pelaku usaha skala menengah, besar, importir, atau mereka yang memiliki produk dengan tingkat kerumitan dan risiko tinggi, jalur yang harus ditempuh adalah Alur Sertifikasi Halal Reguler. Proses ini, meskipun lebih mendalam dibandingkan skema Self-Declare, dirancang untuk memberikan jaminan kehalalan yang kokoh dan tak terbantahkan melalui audit profesional dan fatwa yang kredibel.
Artikel ini menyajikan panduan komprehensif yang menguraikan setiap tahapan dalam alur sertifikasi halal reguler. Tujuannya adalah untuk demistifikasi proses, memberikan kejelasan teknis, dan membekali pelaku usaha dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menavigasi birokrasi secara efisien, memastikan kepatuhan, dan pada akhirnya, mengubah kewajiban ini menjadi keunggulan kompetitif yang signifikan.
Memahami Ekosistem Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia
Sebelum menyelami alur proses, sangat penting untuk memahami para pemangku kepentingan utama yang membentuk ekosistem JPH. Terdapat tiga entitas dengan peran yang berbeda namun saling terhubung:
1. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH): Bertindak sebagai regulator pemerintah. BPJPH adalah lembaga di bawah Kementerian Agama yang memiliki wewenang untuk mengatur, menerima pendaftaran, menerbitkan, dan mencabut Sertifikat Halal. BPJPH mengelola portal digital terpusat bernama SIHALAL (ptsp.halal.go.id), yang menjadi gerbang utama untuk semua proses pengajuan.
2. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH): Berfungsi sebagai auditor independen. LPH adalah lembaga yang telah mendapatkan akreditasi dari BPJPH untuk melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Auditor halal dari LPH-lah yang akan melakukan verifikasi dokumen dan audit lapangan ke fasilitas produksi Anda. Pelaku usaha dapat memilih LPH yang diinginkan saat pendaftaran.
3. Majelis Ulama Indonesia (MUI): Memegang peran sebagai penetap fatwa. Setelah LPH menyelesaikan audit teknis, laporannya akan diserahkan kepada Komisi Fatwa MUI. Para ulama dan ahli di dalamnya akan mengkaji laporan tersebut dari perspektif syariah Islam untuk menetapkan status kehalalan produk. Keputusan fatwa ini menjadi dasar bagi BPJPH untuk menerbitkan sertifikat.
Pemahaman terhadap pembagian tugas ini krusial untuk mengetahui kepada siapa harus berkoordinasi pada setiap tahapan proses.
Kriteria Pelaku Usaha dan Produk untuk Jalur Reguler
Siapa saja yang wajib menempuh alur sertifikasi halal reguler? Skema ini secara spesifik ditujukan bagi:
a. Pelaku Usaha Skala Menengah dan Besar: Bisnis yang tidak lagi masuk dalam kriteria Usaha Mikro dan Kecil (UMK) menurut peraturan perundang-undangan.
b. Produk dengan Risiko Tinggi: Produk yang mengandung atau dalam prosesnya bersinggungan dengan bahan hewani (daging, gelatin, kolagen), turunannya, atau bahan lain yang memiliki titik kritis kehalalan yang tinggi.
c. Proses Produksi Kompleks: Menggunakan fasilitas produksi yang juga mengolah produk non-halal (dengan syarat ada sistem pemisahan yang ketat) atau melibatkan teknologi dan proses yang memerlukan analisis mendalam.
d. Produk Impor: Semua produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan barang gunaan yang diimpor untuk diperdagangkan di Indonesia.
e. Jenis Produk Tertentu: Beberapa kategori produk seperti farmasi, vaksin, dan kosmetik pada umumnya memerlukan audit mendalam melalui jalur reguler.
Panduan Langkah-demi-Langkah: Alur Proses Sertifikasi Halal Reguler via SIHALAL
Berikut adalah rincian alur proses yang harus dilalui oleh pelaku usaha, dari persiapan awal hingga sertifikat diterbitkan.
Tahap 0: Persiapan Kritis Sebelum Pendaftaran
Fase ini seringkali menjadi penentu kelancaran seluruh proses. Kegagalan dalam persiapan akan menyebabkan penundaan signifikan.
1. Miliki Nomor Induk Berusaha (NIB) Berbasis Risiko: NIB adalah identitas tunggal pelaku usaha di Indonesia. Pastikan NIB Anda aktif, valid, dan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang tercantum sudah sesuai dengan kegiatan bisnis Anda. Dapatkan melalui portal Online Single Submission (OSS).
2. Susun Dokumen Sistem Jaminan Halal (SJH): Ini adalah jantung dari permohonan Anda. SJH (atau sering disebut juga Sistem Jaminan Produk Halal – SJPH) adalah sebuah sistem manajemen terstruktur yang Anda buat untuk menjamin kehalalan produk secara konsisten. Dokumen ini harus mencakup:
- Manual SJH: Buku panduan yang menjelaskan kebijakan halal perusahaan, tim manajemen halal, dan ruang lingkup implementasi.
- Daftar Bahan (Material List): Mencakup semua bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, dan bahan kemasan. Setiap bahan harus disertai dokumen pendukung (sertifikat halal dari pemasok, diagram alur proses pembuatan bahan, atau spesifikasi teknis).
- Matriks Produk: Daftar semua produk yang akan disertifikasi, mengaitkannya dengan bahan-bahan yang digunakan.
- Proses Produk Halal (PPH): Diagram alur proses produksi dari penerimaan bahan baku hingga produk jadi, yang menunjukkan titik-titik kritis yang berpotensi terjadi kontaminasi.
- SOP Terkait: Prosedur Operasional Standar untuk pembelian, pemeriksaan bahan datang, produksi, pencucian fasilitas, penyimpanan, hingga transportasi.
Langkah 1: Registrasi dan Pengajuan Permohonan di SIHALAL
- Akses portal
ptsp.halal.go.id. - Buat akun (Create Account) dengan menggunakan NIB Anda. Data perusahaan akan terintegrasi secara otomatis dari sistem OSS.
- Lengkapi seluruh data pelaku usaha.
- Masuk ke menu pengajuan sertifikasi, pilih “Reguler”.
- Pada tahap ini, Anda akan diminta memilih LPH yang akan melakukan audit.
- Isi semua formulir aplikasi dan unggah dokumen SJH beserta lampirannya.
Langkah 2: Verifikasi Kelengkapan Dokumen oleh BPJPH
Setelah permohonan diajukan, staf BPJPH akan melakukan pemeriksaan administratif. Proses ini disebut “Pre-Assessment”. Mereka akan memastikan semua dokumen yang diwajibkan telah diunggah dan data yang diisi sudah benar. Jika ada kekurangan, status permohonan akan menjadi “Dikembalikan (Revisi)” dengan catatan perbaikan. Jika lengkap, permohonan akan diteruskan ke LPH yang telah Anda pilih.
Langkah 3: Penetapan Biaya dan Proses Pembayaran
LPH menerima permohonan Anda dan akan melakukan kalkulasi biaya audit. Biaya ini bervariasi, dipengaruhi oleh skala usaha, jumlah produk, kompleksitas proses, dan lokasi fasilitas. LPH akan menerbitkan tagihan (billing) yang muncul di akun SIHALAL Anda. Lakukan pembayaran melalui kanal Virtual Account yang tersedia.
Langkah 4: Penerbitan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD)
Setelah pembayaran terkonfirmasi, BPJPH akan menerbitkan STTD secara digital. STTD adalah sinyal resmi bahwa proses audit oleh LPH dapat segera dimulai.
Langkah 5: Penjadwalan dan Pelaksanaan Audit Lapangan oleh LPH
LPH akan menghubungi Anda untuk menjadwalkan kunjungan audit. Ini adalah tahap paling intensif, di mana auditor halal akan melakukan:
- Verifikasi Implementasi SJH: Membandingkan dokumen SJH yang Anda ajukan dengan praktik nyata di lapangan.
- Pemeriksaan Bahan dan Ketertelusuran: Mengecek gudang penyimpanan, mencocokkan fisik bahan dengan daftar, dan memverifikasi dokumen pendukung bahan. Fokus utama adalah pada bahan kritis (material yang secara syariah berisiko tinggi, seperti gelatin, lesitin, gliserin, enzim, cuka, dan bahan turunan hewani lainnya).
- Inspeksi Fasilitas dan Proses Produksi: Mengobservasi seluruh alur produksi untuk memastikan tidak ada potensi kontaminasi silang dari bahan atau peralatan yang najis/non-halal.
- Wawancara: Auditor akan mewawancarai Tim Manajemen Halal dan personel kunci lainnya untuk mengukur pemahaman dan komitmen terhadap implementasi SJH.
Jika ditemukan ketidaksesuaian, LPH akan mengeluarkan Laporan Ketidaksesuaian (NCR) yang harus Anda perbaiki dalam jangka waktu tertentu.
Langkah 6: Penyampaian Laporan Hasil Audit ke MUI
Setelah audit selesai dan semua perbaikan (jika ada) telah diverifikasi, LPH akan menyusun Laporan Audit yang komprehensif. Laporan ini kemudian diunggah ke SIHALAL untuk diteruskan ke MUI.
Langkah 7: Sidang Komisi Fatwa MUI
Laporan teknis dari LPH akan dikaji oleh para ahli di Komisi Fatwa MUI. Mereka akan berdiskusi dan bermusyawarah untuk memutuskan apakah produk tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang ada, dapat ditetapkan sebagai produk Halal. Hasilnya adalah sebuah Ketetapan Halal (KH).
Langkah 8: Penerbitan Sertifikat Halal oleh BPJPH
Dengan diterbitkannya Ketetapan Halal oleh MUI, BPJPH memiliki dasar hukum dan syariah untuk menerbitkan Sertifikat Halal.
Langkah 9: Pengunduhan Sertifikat dan Kewajiban Pemasangan Label
Sertifikat Halal akan terbit dalam bentuk digital dan dapat diunduh langsung dari akun SIHALAL Anda. Sejak saat itu, Anda secara resmi berhak dan wajib mencantumkan Logo Halal Indonesia yang berlaku pada kemasan produk, etalase, atau media promosi lainnya.
Estimasi Waktu dan Biaya Sertifikasi Halal Reguler
a. Waktu: Secara regulasi, proses ditargetkan selesai dalam 21 hari kerja. Namun, estimasi realistis di lapangan berkisar antara 45 hingga 90 hari kerja. Durasi ini sangat bergantung pada kesiapan dokumen pelaku usaha dan jadwal audit LPH.
b. Biaya: Biaya bersifat variabel. Untuk usaha skala menengah, rentang biaya dapat berkisar dari Rp5.000.000 hingga lebih dari Rp20.000.000. Faktor penentunya adalah jumlah produk, jumlah fasilitas produksi (pabrik), dan kompleksitas proses yang diaudit.
FAQ (Frequently Asked Questions)
Q: Berapa lama masa berlaku Sertifikat Halal yang diterbitkan melalui jalur reguler? A: Berdasarkan regulasi terkini, Sertifikat Halal berlaku seumur hidup, dengan syarat tidak ada perubahan dalam komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal (PPH). Jika ada perubahan, pelaku usaha wajib melaporkannya melalui SIHALAL untuk proses pembaruan.
Q: Apa yang dimaksud dengan “bahan kritis” dalam audit halal? A: Bahan kritis adalah material yang memiliki potensi syubhat (samar) atau haram, atau yang dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan unsur haram. Contohnya: gelatin (bisa dari babi atau sapi), gliserin, whey, alkohol dalam perisa, kuas dari bulu babi, dan media fermentasi mikrobial. Bahan-bahan ini memerlukan dokumen pendukung yang sangat kuat untuk membuktikan kehalalannya.
Q: Bagaimana jika produk saya ditolak oleh Komisi Fatwa MUI? A: Penolakan jarang terjadi secara langsung. Biasanya, jika ada keraguan, Komisi Fatwa akan mengembalikan laporan ke LPH untuk meminta klarifikasi atau data tambahan. LPH kemudian akan berkoordinasi dengan Anda untuk melengkapi data yang dibutuhkan sebelum diajukan kembali.
Q: Apakah saya bisa pindah dari skema Self-Declare ke Reguler? A: Ya, dan ini adalah alur yang wajar. Ketika Usaha Mikro dan Kecil (UMK) berkembang menjadi usaha menengah atau mulai menggunakan bahan berisiko tinggi, maka pada saat perpanjangan atau pembaruan berikutnya, mereka harus beralih ke jalur sertifikasi reguler.
Kesimpulan: Kepatuhan Halal sebagai Akselerator Bisnis
Menempuh alur sertifikasi halal reguler mungkin tampak sebagai sebuah proses yang rumit dan menantang. Namun, ini harus dipandang sebagai investasi strategis, bukan sekadar beban biaya. Sertifikat Halal yang diperoleh melalui audit mendalam memberikan tingkat kepercayaan tertinggi dari konsumen, membuka pintu menuju pasar ekspor yang lukratif, dan yang terpenting, menjauhkan bisnis Anda dari risiko sanksi hukum.
Dengan persiapan yang matang, pemahaman yang jelas terhadap setiap langkah, dan komitmen untuk mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal secara konsisten, setiap pelaku usaha dapat berhasil melewati proses ini. Kepatuhan halal hari ini adalah fondasi untuk pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis di masa depan.


























